Program Rehabilitasi Jantung Sebagai Implementasi Sekunder Pada Pasien Pasca STEMI Pasca PCI

Program Rehabilitasi Jantung Sebagai Implementasi Sekunder Pada Pasien Pasca STEMI Pasca PCI

Oleh : Muhammad Iqbal., S.Kep.,Ners

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah bagian dari penyakit kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyempitan arteri koroner (arteri yang memperdarahi jantung). Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014, penyakit jantung koroner adalah urutan pertama dari sepuluh penyakit tidak menular dengan angka kematian terbanyak yaitu 35% atau sekitar 1,8 juta kasus kematian. Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang menjadi penyumbang cukup besar terhadap jumlah kematian akibat PJK. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), prevalensi PJK penduduk berdasarkan diagnosa dokter meningkat menjadi 1,5% atau sekitar 1.017.290 jiwa dibandingkan tahun 2013.

PJK biasanya dimulai bertahun-tahun sebelum pasien dirawat di rumah sakit, dengan mulai terbentuk dan bertambahnya plak aterosklerotik. Ketika plak aterosklerotik pecah hal ini mengakibatkan serangkaian peristiwa yang bisa menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah koroner yang biasa disebut Sindrom Koroner Akut (SKA )(Chummun, 2009). Diperkirakan 5-8 juta pasien datang ke UGD tiap tahunnya dikarenakan keluhan nyeri dada, 20-25% atau sekitar 2 jutanya didiagnosa dengan SKA (Amsterdam et al., 2014).

Menurut American Heart Association sindrom koroner akut terdiri dari Unstable Angina Pectoris (UAP), ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI), dan Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). Diantara tingkatan SKA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, STEMI menjadi penyebab mayor kematian premature di dunia, meskipun dengan perkembangan terkini masih menjadi kontroversi terkait keoptimalan therapy (Choudhury et al, 2016). STEMI adalah sindroma klinis dengan gejala SKA yang ditandai dengan gambaran elektro kardiografi (EKG) ST-elevasi dan dihasilkannya biomarker nekrosisotot jantung (American Heart Association, 2013).

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala 12 jam dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khasinfark (ongoing chest pain). Berbagai penelitian telah menunjukan keuntungan PPCI terhadap efikasi dan angka mortalitas dibandingkan fibrinolisis yang merupakan standar terdahulu. Sebagai akibat dari perubahan terapi tersebut angka kematian disebabkan STEMI menurun dari 20% menjadi 5% dalam jangka waktu 30 tahun (National Institute for Health and Care Excellence, 2013).

Meskipun PCI terbukti bisa menurunkan angka kematian akibat Sindroma koroner akut akan tetapi berdasarkan penelitian (Boden, O'Rourke, & Teo, 2007)yang membandingkan hasil jangka panjang antara pasien yang dilakukan PCI dan tidak dilakukan PCI menunjukan bahwa meskipun PCI mengurangi prevalensi terjadinya angina, tetapi tidak mampu mengurangi angka rehospitalisasi dan kematian jangka panjang setelah serangan jantung. Masalah ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kecemasan dan berkurangnya kemampuan activity of daily living (ADL)  atau status fungsional setelah menjalani PCI. Kecemasan dan menurunya aktivitas fisik menyebabkan kebanyakan Pasien yang telah dilakukan PCI cenderung tidak beraktivitas fisik seperti biasanya, pernyataan ini didukung oleh penelitian Reid et al pada tahun 2008  yang meneliti aktivitas fisik pasien pasca rawat akibat serangan jantung biasanya berkurang 2 bulan setelah perawatan terutama pada pasien post PCI.

Untuk mengatasi situasi seperti itu program rehabilitasi jantung sebagai program pencegahan sekunder perlu di optimisasi. Berdasarkan studi yang dilakukan (Venturini & Roberto, 2014) disimpulkan bahwa efek baik dari PCI terhadap PJK harus dikonsolidasi dan dioptimalkan dengan rehabilitasi jantung yang komprehensif. Terdapat banyak penelitian yang menunjukan manfaat rehabilitasi jantung yang bisa meningkatkan status fungsional dan kapasitas latihan fisik pada pasien pasca PCI, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh (Kaperowicz, Cymerys, & Kasperowicz, 2019) pada 100 pasien yang melakukan rehabilitasi jantung setelah STEMI menunjukan peningkatan kapasitas aktifitas fisiknya secara signifikan.

Rehabilitasi Jantung merupakan implementasi yang sangat bermanfaat terutama untuk pasien dengan penyakit jantung. Manfaat rehabilitasi jantung telah didukung oleh berbagai penelitian menunjukan peningkatan fungsi kardio-pulmonal, faktor psikologis, kualitas hidup, dan penurunan angka mobiditas dan mortalitas. Rehabilitasi jantung juga merupakan strategi yang baik untuk mengurangi readmisi pasien kerumah sakit. Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari program rehabilitasi jantung maka perlu dilakukan upaya yang komprehensif mencakup seluruh komponen program rehabilitasi kardiovaskuler dengan tujuan program yang jelas. Berdasarkan panduan PERKI program rehabilitasi jantung terdiri dari empat fase yaitu : fase I selama pasien di rumah sakit, fase II segera setelah pasien keluar rumah sakit, fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan tim rehabilitasi jantung, dan fase IV merupakan fase pemeliharaan jangka panjang. Program rehabilitasi jantung mempunyai beberapa komponen inti yang ada di setiap fase. Komponen ini termasuk pemeriksaan awal pasien, konseling nutrisi, modifikasi faktor resiko, intervensi psikososial, konseling aktivitas fisik dan latihan ringan.

Yang masih menjadi permasalahan, meskipun sudah banyak penelitian yang menunjukan manfaat dari rehabilitasi jantung akan tetapi angka kepatuhan pasien untuk mengikuti program rehabilitasi jantung masih rendah. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian (Sunamura et al., 2017) yang meneliti 3.871 pasien miokardinfark yang sudah menjalani Primary PCI periode 2003-2011 menunjukan bahwa angka partisipasi rehabilitasi jantung masih rendah, hanya sebagian kecil yang mengikuti secara komplit. Umumnya pasien lansia, wanita dan pasien dengan status ekonomi rendah menunjukan angka yang rendah dalam partisipasi. Oleh karena itu kelompok pasien tersebut harus menjadi target utama untuk meningkatkan angka partisipasi dan ketuntasan rehabilitasi jantung.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amsterdam, E., Wenger, N., Brindis, R et al. (2014). 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non–ST-Elevation Acute Coronary Syndromes, ahajournals.org, Diperoleh September 16, 2020

Boden, W., O'Rourke, R., & Teo, K. (2007). Optimal Medical Therapy with or without PCI for Stable Coronary Disease. The New England Journal of Medicine, 356(15).

Choudhury et al. (2016). ST elevation myocardial infarction Clinical Medicine, 16(3).

Chummun, H. G., K. Lutchman, A. (2009). Current guidance on the management of acute coronary syndrome. British Journal of Nursing, 18(21).

Kaperowicz, A., Cymerys, M., & Kasperowicz, T. (2019). Effectiveness of Cardiac Rehabilitation in Exercise Capacity Increase in Patients with ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16.

PERKI. (2015). PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT. Jurnal Kardiologi Indonesia(3).

Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.

Sunamura, M., Hoeve, N., Geleijnse, M. L., Steeenaard, R. V., Berg-Emons, H. J. G., Boersma, H., & Domburg, R. T. (2017). Cardiac rehabilitation in patients who underwent primary percutaneous coronary intervention for acute myocardial infarction: determinants of programme participation and completion. Netherland Heart Journal, 25. doi:s12471-017-1039-3

Venturini, E., & Roberto, T. (2014). Cardiac Rehabilitation and Percutaneous Coronary Intervention: Together Against Global Burden of Cardiovascular Disease. Journal of Cardiology and Therapy, 101(1). doi:10.6051/j.issn.2309-6861.2014.01.9

WHO. (2013). Rehabilitation Guideline after Myocardial Infarction.